Anwar Ibrahim, Pemimpin Rendah Hati, Jatuh Bangun, Terasing Hingga Jadi PM Malaysia
Perdana Menteri (PM) Dato' Seri Malaysia Anwar Ibrahim melakukan kunjungan ke Indonesia. Itu adalah lawatan pertamanya setelah dilantik sebagai pemimpin pemerintahan Negeri Jiran pada November 2022.
BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Perdana Menteri (PM) Dato' Seri Malaysia Anwar Ibrahim melakukan kunjungan ke Indonesia. Itu adalah lawatan pertamanya setelah dilantik sebagai pemimpin pemerintahan Negeri Jiran pada November 2022.
Dalam kunjungannya pada Senin (9/1/2023), Anwar bertandang ke Istana Kepresidenan Bogor untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di pertemuan tersebut, terjadi sejumlah kesepakatan, salah satunya nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara sektor swasta kedua negara dengan nilai proyek mencapai 1,16 miliar ringgit Malaysia atau sekitar Rp 4,13 triliun (kurs Rp 3.564).
Usai bertemu dengan Jokowi, Anwar mengisi acara CT Corp Leadership Forum di Menara Bank Mega, Jakarta. Dalam acara tersebut, Anwar blak-blakan tentang perjalanan hidupnya yang penuh jatuh bangun, terasing, hingga bangkit dan menjadi Perdana Menteri Malaysia saat ini.
Berikut petikan pidato Anwar Ibrahim dalam CT Corp Leadership Forum:
Arti Keadilan
Saya mau bicara sebagai sahabat karena dalam menghadapi lika-liku hidup, getir, pasang surut, lebih banyak surut dari pada pasang, saya tidak pernah merasa terasing di Indonesia
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Presiden Joko Widodo yang memberikan sekali lagi penghormatan kepada saya mengundang saya ke sini secara resmi dan memberikan sambutan yang sangat hangat, membicarakan dengan terus terang dengan maksud mengangkat dan menyukseskan hubungan bilateral Malaysia dan Indonesia.
Juga menyelesaikan hal-hal yang terbalut sekian lama, termasuk permasalahan yang amat melukai perasaan rakyat Indonesia soal TKI dan sebagainya. Saya jawab kepada Presiden: "Saya ini juga dari orang yang tersisih dan terbuang, lebih mengerti arti keadilan, pemerataan, keadilan sosial".
Jadi sekarang menjadi tanggung jawab saya untuk memastikan bukan soal memihak kepada Indonesia atau Malaysia tapi memihak kepada prinsip keadilan dan manusiawi atau karamah insaniah.
Peta Politik dan Ekonomi
Insya Allah dengan perubahan peta politik di Malaysia, kita melihat peningkatan hubungan dua negara bertetangga yang belum pernah dicapai dan dicatat sebelumnya.
Tentunya kita harus berpusat dan berpangkalan pertamanya kepada permasalahan ekonomi. Soal-soal yang saya sebut tadi, sempadan, layanan pekerja, dan soal kerja sama dalam berbagai bidang kita teruskan, tapi tumpuan kita fundamentalnya tetap ekonomi.
Ini karena kita berhadapan dengan suatu kemelut ekonomi yang belum ada kepastian penyelesaiannya. Seusai Covid-19 kita masih menghadapi suasana global yang belum menentu.
Tapi saya tidak mewakili pandangan yang pesimis dalam politik atau ekonomi sebab saya survive. Kalau tidak, pingsan lama di penjara. Tapi, dalam keadaan paling rumit di penjara saya masih optimistis. Insyaallah ini masalah waktu, dengan pertolongan Allah kemenangan akan tercapai dekat dekat itu kita hanya mampu berdoa.
Begitu juga ekonomi sebagaimana yang disebut Keynes kalau diserahkan kepada para pakar-pakar ekonomi itu tidak semestinya menjawab sebuah permasalahan, tapi tanggung jawab kita selama ada pimpinan, atau konglomerat, businessman adalah untuk berencana supaya memanfaatkan waktu dan kebijakan semaksimal untuk memperbaiki keadaan.
Saya percaya insyaallah pandangan dan ranah yang sangat pesimistis itu tidak semestinya benar. Ini sudah kita lihat sebagaimana teori Oswald Spengler, Decline of the West, dia orang anti Barat jadi seolah-olah barat akan runtuh besok. Itu mengandaikan bahwa orang barat tidak mau bikin apa-apa secara positif atau negara China akan menghadapi kemelut yang dalam.
Jangan kita andaikan pemimpin-pemimpin China dan ahli negara itu akan diam dan tidak memikirkan hal dan solusi yang baik. Sebab itu, saya masih menyatakan bahwa Spenglerian pesimisme yang disebut itu baik dalam politik atau ekonomi tidak semestinya benar.
Demokrasi dan Budaya Korupsi
Tanggung jawab kita sebagai manusia adalah berusaha mencari solusi dan melakukan perubahan dengan segala daya upaya kita, tapi bagi saya fondasinya dimulai dari kepemimpinan.
Itu sebabnya saya memilih untuk memulai dengan mengambil sikap seorang pemimpin yang lebih bertanggung jawab dan mau mendengarkan pendapat dan saran dan itu artinya demokrasi.
Kemarin di kedutaan Malaysia saya menyebutkan apa yang pernah dikatakan Francis Fukuyama tentang akuntabilitas demokrasi. Kita ribut dengan hiruk-pikuk bicara demokrasi tapi bukan akuntabilitas. Demokrasi tidak bisa ditentukan legitimasi kehebatannya semata-mata dalam pemilu, tetapi relevansinya bagi kita berdasarkan pertimbangan nilai dan moral, moral dan etika, harus tentang akuntabilitas.
Benarkah orang yang memegang tampuk kekuasaan, yang menang dengan dukungan rakyat, menang dengan cara dan kaidah etika yang bisa dipertahankan dan sudah dimiliki?
Apa daya mereka harus jujur dalam menjalankan amanah, mengemban amanah korupsi atau korupsi yang sudah menjadi budaya di negara-negara Islam. Makin kuat slogan Islam, makin banyak dana yang hilang.
Atau di malaysia terkadang makin keras suara supremasi Melayu, makin cepat uang hilang sehingga dengan demikian kita tidak bisa terhipnotis dengan slogan janji muluk dan kata iya harus menjadi amal jariyah.
Penjara dan Penderitaan Rakyat
Terkadang saya membayangkan pengalaman panjang saya lebih dari 10 tahun di penjara begitu kecil namun begitu besar. Tetapi apakah itu akan memengaruhi saya untuk menjadi sombong dan sombong? Pengalaman disiksa dan menderita begitu lama seharusnya mengajari kita dan memahami arti penderitaan dan penderitaan di antara mayoritas rakyat kita.
Saya ditanya tentang kisah penderitaan saya, saya mengatakan bahwa penderitaan Anwar, betapapun lelahnya saya, masih relatif lebih baik daripada penderitaan mayoritas rakyat Malaysia
Oleh karena itu, sementara kita berbicara panjang lebar, saya akan menulis tentang pengalaman saya. Saya merasa malu karena penderitaannya kurang dari apa yang dirasakan kebanyakan orang.
Maka ada hikmah dari semua ini, yaitu untuk mendewasakanku. Saya lebih mengerti arti bebas dan demokratis karena saya tahu bagaimana rasanya hidup dalam sistem otokratis. Jadi inilah yang menurut saya harus kita semua renungkan
Karena saya mewakili sosok yang berpandangan bahwa kemampuan Indonesia dan Malaysia khususnya Indonesia itu luar biasa, saya agak sentimental dengan Indonesia ini karena almarhum ibu saya adalah penggemar karya-karya hebat Indonesia, semua karya Sutan Alisjahbana, Armijn Pane, Hamka. Falsafah hidup tidak hanya dibaca di masa depan.
Saya jadi ingat pernah membaca Mochtar Lubis yang menghujat budaya korupsi dan lemahnya sifat bangsa Indonesia, apalagi karena sistem dominasi orde baru atau syair Taufik Ismail 'Malu Aku Jadi Orang Indonesia'. Sesuai judulnya itu salah satu aspek seniman yang menuangkan hati nuraninya yang galau tapi realitanya Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang tidak ada bandingannya di daerah kita.
Tokoh Besar dan Teman Setia
Dari berbagai tren ada nasionalisnya seperti Soekarno-Hatta atau yang paham Islamnya seperti Mohammad Natsir atau kirinya seperti Sutan Sjahrir atau pemikir kemanusiaan yang kuat seperti Sujatmoko yang menulis satu teks yang bagi saya sangat berharga dalam merumuskan bujet bagi Malaysia, 'Dimensi Manusiawi dalam Pembangunan'.
Tokoh-tokoh besar dan hebat dalam generasi awal ini diteruskan dalam bidang perdagangan
Tatkala saya terbuang, teman-teman kumpul dan Chairul atur program besar untuk sambut teman-teman bersama. Jadi semasa saya susah, dia sambut. Jadi sebab itu saya ingat teman tatkala saya susah semasa itu, termasuk Bu Anita.
Jiwa Pemimpin
Kata siapa untuk menolak kebejatan sosial dan korupsi itu mudah? Saya sudah pengalaman, itu yang menyebabkan saya terpelanting masuk penjara. Saya dulu wakil PM, sekarang saya PM. Itu pun tidak mudah karena korupsi itu seperti juga Malaysia itu sistemik dari atas sampai ke bawah. Tidak mungkin kita mudah survive tanpa menerima atau menoleransi korupsi itu. Kesabaran terbesar kita adalah bagaimana kita menunjukkan contoh dan teladan yang baik.
Seorang PM, seorang menteri, harus rendah hati dan di sini saya sering meminjam ungkapan T. S. Eliot apa makna kerendahan hati dalam puisi dia The Four Quartets: The only wisdom we can hope to acquire is the wisdom of humility. Humility is endless. Kalau ada satu-satunya hikmah yang mungkin kita kuasai adalah kerendahan hati dan itu tidak ada batasnya.
Tantangan bagi kepemimpinan adalah untuk memastikan bahwa kita terus belajar dari pengalaman kami dan dari mendengarkan pakar dan komentar yang tidak mampu kita dengar dari para pakar.
Saya tidak cenderung dengan angka dan statistik. Berapa angka kemiskinan? Hh tinggal 15%. Bunyinya kan indah, tapi kalau kamu dan keluarga kamu tergolong dari 15% itu, kamu tidak bicara begitu. Ini yang membedakan pendekatan manusiawi dengan pendekatan yang lebih akademik dan ekonomi.
Sumber: CNBCIndonesia
Editor: Ari