Duh! Aturan HET Pemerintah Tak Digubris Pengusaha Minyak Goreng, Kompak Naikkan Harga, YLKI Pun Curiga Adanya Praktek Kartel

Harga minyak goreng melonjak drastis. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global. Bahkan banyak pihak mencurigai bahwa adanya kartel dalam harga ini.

Duh! Aturan HET Pemerintah Tak Digubris Pengusaha Minyak Goreng, Kompak Naikkan Harga, YLKI Pun Curiga Adanya Praktek Kartel
Ilustrasi. (Istimewa)

BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Harga minyak goreng melonjak drastis. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global. Bahkan banyak pihak mencurigai bahwa adanya kartel dalam harga ini.

Hampir tiga bulan, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali. Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.

Lonjakan harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah. Bahkan tercatat jadi negara penghasil CPO terbesar di dunia.

Mengutip laman Pusat Informasi Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga minyak goreng per kilogramnya dijual di kisaran Rp 19.000 sampai dengan Rp 24.000.

Di Gorontalo, harga minyak goreng bahkan menembus Rp 26.350 per kilogramnya. Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000 tergantung kemasannya.

Selain rumah tangga, sektor yang paling terpukul terutama adalah industri kuliner. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebenarnya sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yakni sebesar Rp 11.000 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.

Andilnya terhadap inflasi kelompok pengeluaran makanan dan minuman pada Oktober 2021 sebesar 0,05 persen lantas meningkat menjadi 0,08 persen pada November 2021.

Ketimbang memaksa perusahaan produsen minyak goreng mengikuti aturan HET, pemerintah memilih merogoh uang negara yang disalurkan melalui para produsen minyak goreng untuk menyubsidi harga produknya.

Dilansir dari Harian Kompas, Kementerian Perdagangan akan mengubah harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng kemasan sederhana di tingkat konsumen dari Rp 11.000 per liter menjadi Rp 14.000 per liter.

Per 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter, untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium.

Jumlah minyak goreng bersubsidi yang akan digelontorkan selama enam bulan itu sebanyak 1,5 miliar liter. Pemerintah telah menyediakan dana Rp 7,6 triliun untuk menutup selisih harga keekonomisan dan HET minyak goreng.

Harga keekonomisan minyak goreng itu akan diveluasi setiap bulan dengan melihat pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, tak habis pikir dengan meroketnya harga minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar di dunia.

Ia bilang, minyak goreng merupakan produk turunan dari minyak sawit (CPO) yang merupakan produk dalam negeri. Namun anehnya dijual untuk masyarakat di dalam negeri dengan patokan harga global.

"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus dalam pesan singkatnya.

Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema HGU.

Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel.

Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Saat harga minyak sawit dunia naik, tak seharusnya pemain besar produsen minyak goreng menjual produknya dengan harga mahal yang membebani masyarakat.

Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.

Ini karena hampir semua pemain besar produsen minyak goreng juga menguasai perkebunan kelapa sawit. Minyak goreng yang diproduksi para pemain besar juga ikut melonjak.

"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Tulus.

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Sumber: Kompas.com

Editor: Ari